Bagaimana Saya Akhirnya Menjadi Seorang Penulis

(Bagian Pertama)
Hadirnya tulisan ini di tengah pembaca semua merupakan sebuah proses yang panjang.

Kemampuan menulis saya bukan muncul sejak awal, tapi muncul dari hobi awal saya, yaitu menggambar.

Dulu setiap kali saya mengisi biodata, pada kolom isian hobi, saya selalu mengisinya: Menggambar. Saat ini saya mengisinya dengan: Menulis.

Saya ajak pembaca semua untuk flashback sampai lebih ke 30 tahun yang lalu untuk melihat bagaimana saya mulai menulis.

Ayah saya PNS dan seorang lulusan STM. Di rumah, beliau sering menggambar sebuah bangunan. Saya sering memperhatikannya. Hal yang menarik saya adalah pena gambar yang ada ukurannya 0.1, 0.2, 0.5 dan seterusnya.

Kalau ayah saya sedang lengah, saya pasti mengambil pena gambar dan mencorat coret di sebuah kertas. Satu kali saya pernah membengkokan ujung pena, alhasil saya pun kena marah. Saya belum tahu kalau pena gambar di zaman itu harganya masih sangat mahal. Hehehe.

Setiap awal tahun adalah momen bahagia bagi saya. Semua kalender tahun lalu turun dari tempatnya. Saya pun memanfaatkan bagian belakang kalender tersebut untuk saya pakai untuk menggambar.

Merupakan kebahagiaan tersendiri saat itu. Lembar per lembar saya gambar dan beri tulisan. Tulisannya satu yang khas, selamat tahun baru. Saya menggambar tahun lama sedang pergi, dan tahun baru datang.

Nah, karena sering lihat ayah saya menggambar munculah hobi saya menggambar. Saya mulai menggambar 2 tokoh super hero yang saya kenal, yaitu Batman dan Superman.

Ayah saya melihat kesukaan saya. Saya pun dibuatkannya satu gambar penuh Batman dan Robin. Robin? Siapa dia pikirku saat itu. Baru di kemudian hari, saya mengetahuinya bahwa dia ini sidekick-nya Batman.

Pengetahuan tokoh komik saya bertambah bukan hanya Batman, Superman dan Robin. Tapi juga the Flash. Awalnya Ibu saya berbelanja alat mandi dalam stok yang banyak. Sehingga mendapat hadiah berupa komik The Flash vs Superman. Temanya tentang balap lari, siapa yang menang diantaranya. Persis seperti adegan terakhir di film Justice League. Saya pun mempunyai referensi tokoh baru dalam menggambar.

Hari itu, hari yang berbahagia bagi saya. Hari itu adalah hari ulang tahun yang kesepuluh. Ayah, Ibu dan kedua kakak saya pun berpakaian rapih. Karena hari yang spesial, maka ayah saya khusus membeli negatif film untuk mendokumentasikan.

Akhir tahun 80an belum ada kamera digital ataupun smartphone, sehingga pemotretan pun harus dipilih yang pas. Apakah hasilnya bagus atau tidak, baru diketahui saat dicetak nanti. Kadang-kadang, dapat kejutan, fotonya tidak jadi karena terbakar atau roll filmnya tidak terpasang dengan baik.

Hari itu saya mendapatkan hadiah istimewa, yang dibungkus dalam sebuah gulungan yang dibungkus kertas kado yang cantik. Hanya 1 hadiahnya. Anggota keluarga melakukan dokumentasi saat memberikan hadiah tersebut kepada saya. Jadi kalau lihat hasil fotonya, hadiah yang saya terima sangat banyak, padahal hanya satu. Hahaha.

Setelah adegan pemberian kado selesai, saya pun segera membukanya dengan rasa penasaran. Ternyata hadiahnya adalah 10 buku gambar. Wow, ini merupakan harta yang luar biasa saat itu. Jumlahnya sama dengan umur saya saat itu.

Hampir setiap hari saya menggambar di buku gambar hadiah ulang tahun saya tersebut. Dalam gambar, awalnya saya menggambar adegan-adegan tunggal. Selanjutnya, saya mulai merangkai adegan-adegan tersebut dalam sebuah cerita. Disinilah saya mulai merasakan adanya kebutuhan sebuah skenario.

(Bersambung)

Gambar: pixabay

2 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *